Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film    Health    Seks    Motivasi   
Home » » Rindu Itu Berganti Hujan

Rindu Itu Berganti Hujan

Rindu Itu Berganti Hujan Ilustrasi surat cinta (Feri Usmawan/Okezone) RINDU itu berganti hujan, menyirami rumput dan pelataran rumahku yang gersang oleh kesepian. Tanpamu aku seperti bangkai yang busuk, baunya menyebar. Orang mendekat sudah tak asyik lagi karena hidungnya harus ditutup karena bau busuk dan menyengat sampai ke tenggorokan yang serasa ingin muntah.

Ketahuilah, bangkai itu kayak aku, orang-orang di sekitarku sudah menganggapku busuk oleh rasa rindu padamu yang hebat. Baunya menyebar, sungguh menyedihkan. Memang. Akupun tetap bertahan dengan ilusiku yang sudah tidak normal lagi, ilusi yang lepas dari kenyataan.

Ilusiku sudah tidak sewajarnya karena kamu sudah lama pergi jauh dariku dan kemungkinan tak ada kesempatan untuk kembali, yah, takkan kembali mungkin, kenapa mungkin, karena mungkin masih ada harapan sepuluh prosen untuk kembali. Sedangkan rindu dan ilusiku bergelantungan dalam otak dan hatiku setiap detik, hanya wajah dan senyummu yang selalu menghias.

Aku sedih Ara, sedih sekali. Aku ingin mati namun kamu belum juga mati. Kamu masih hadir didunia ini. Makanya aku tak ingin mati sebelum kamu tahu aku masih membutuhkanmu. Supaya kamu lebih tahu tentang aku dan keadaan hatiku, aku tulis surat untukmu walaupun tak pernah aku kirimkan karena aku tak tahu dimana kamu berada. Surat-surat itu hanya aku pajang di dinding kamar sunyiku dan ada yang aku simpan di bawah bantal tidurku.

Surat I
Ara,
Surat ini aku tulis dengan hatiku yang bingung setengah mati. Aku ingin bertemu denganmu tapi aku tak bisa dan tak tahu kau dimana. Sejak kita dulu bertemu di kebun kelapa milik Mbah Kaboel, 16 tahun yang lalu ketika kita masih kelas enam SD, aku merasakan sesuatu yang aneh padamu. Apa itu yang namanya perasaan cinta?, anak kecil yang tak tahu tentang makna cinta hanya akan menjawab dalam otaknya yang penting suka.

Dalam hal apapun, baik suka dalam kelompok bermain, juga tak tega melihat dirimu disakiti oleh yang lain, yang penting dengan rasa suka aku membela sebisaku agar kamu juga merasa senang. Sehingga kemanapun kamu pergi bermain aku selalu ada disampingmu.

Kau masih ingat?, waktu kita bermain ke TPK (Tempat Pelelangan Kayu) desa Bangilan, didepan stasiun kereta api jurusan Rembang-Bojonegoro, kau mau mencari bunga anggrek yang menempel di pohon Meh, pohon yang besar dan sangat sejuk itu. Namun kita sangat kesulitan karena bunga anggrek itu menempel pada dahan yang tinggi.

Kau kelihatan kecewa Ara, tapi aku coba alihkan kesulitan itu pada yang lain. Yaitu kita ganti dengan mencari ikan, ikan cucut kecil-kecil dan wader jembleng. Kita dapat banyak ikan-ikan itu. Namun, ikan-ikan itu harus kita kembalikan lagi karena tak berguna, tak dapat kita jadikan lauk-pauk, terlalu kecil, kita buang kasihan, kita kembalikan lagi di anak sungai itu. Tapi kita senang dengan kesibukan itu. Masa kecil yang menyenangkan bermain dengan alam yang masih bersahabat.

Ara,

Rasanya aku ingin kembali ke masa anak-anak dengan ditemani kamu. Aku ingin bermain lagi denganmu, kita belum sempat mengunjungi sungai Bendo yang asyik untuk bermain. Setelah kamu pergi pindah ke luar pulau Jawa untuk mengikuti ayahmu yang bertransmigrasi ke pulau Kalimantan, aku berkunjung ke sungai itu pada hari libur jumat, aku ditemani oleh Pi’i, teman kita yang paling nakal tapi jenius.

Aku pergi dengannya dengan naik onthel, ternyata sungainya sangat cocok untuk mandi, airnya jernih dan tidak terlalu dalam, arusnya juga tidak kencang. Ditambah lagi dengan bentuk tebing-tebing sungainya yang curam, indah. Tapi jangan pernah mandi di saat musim hujan, karena arusnya sangat hebat. Bisa-bisa akan ikut hanyut oleh air yang super bah itu. Pengalaman ini aku ceritakan padamu karena kamu belum pernah pergi bersamaku ke sini.

Kamu punya niat pergi ke sungai Bendo ini tapi kamu keburu pergi bersama keluargamu pindah keluar Jawa. Sehingga belum tersampaikan. Mungkin suatu saat nanti jika kamu main ke desa kita yang dulu, desa yang pernah kau jejakkan kaki mungilmu, desa yang pernah kau ludahi dengan air liurmu, desa yang pernah kau sanjung dalam puisi-puisi cengengmu, ya, puisi yang kau tulis dalam tugas pelajaran bahasa Indonesia kelas VI SD yang di pegang oleh Bu Enis itu, kita bisa meluangkan waktu sejenak untuk bernostalgia disungai itu.

Airnya bening, pasirnya putih, sangat cocok untuk membuang sumpek. Ya, rasa sumpek yang terus hinggap tak pandang bulu, tak mau mengerti sedikitpun tentang keadaan dan situasi ini. Bahkan jika sampai di rating teratas sumpek itu membuat otak menjadi kempal, tumpul dan gampang menjadi uring-uringan. Pada terapi kesabaranlah kita pasrahkan saja.

Ara,
Jika kita telusuri dari awal kita berteman aku sangat sadar bahwa aku menyimpan cinta untukmu. Bukan pada yang lain. Maaf.

Surat II
Untuk Ara-ku yang tak tahu berada dimana.

Ketika pena yang kutuliskan ini menyebutkan huruf demi huruf, jadilah kata-kata lalu membentuk kalimat-kalimat. Tetap kalimat yang keluar itu seputar kau, menuliskan banyak tentang kau berarti mengurangi beban pikiranku yang hanya ada kau. Ingin sekali aku berlari pergi jauh menghindar namun sulit. Masih saja kau yang selalu ada.

Heran aku. Betapa kuat hatiku menyimpan kau. Salahkah itu? Tak juga, karena cinta-mencintai adalah hak setiap makhluk. Termasuk aku yang mencintai kau. Tapi sayang kau tak ada disini dan tak tahu tentang ini. Surat ini pun tak kan nyampai ditanganmu. Tapi siapa tahu Tuhan megabulkan keinginanku untuk bertemu denganmu di lain waktu. Mudah-mudahan. Aku sadar meski kau tak kan menerima suratku biarlah pekerjaan yang aku lakukan ini tak ada yang mengganggu. Pekerjaanku ini bukanlah merampok orang atau mencuri barang milik orang lain dan tak kan mengganggu orang lain karena tidak ada yang tahu kecuali aku dan Tuhan.

Bahkan suratku ini untukmu murni kutulis dengan tanganku sediri tanpa menyontek hasil karya orang lain. Jadi, tak apa dan tak mengganggu. Hanya orang lain jika tahu yang terganngu adalah si penulisnya sendiri. Si penulis mungkin sudah edan. Bukankah penulis-penulis juga edan semua? Mereka bekerja meracik kata-kata jadi kalimat jadi paragraf jadi karya tulis, apapun ditulis, bahkan burung bertelur disangkarnya juga ditulis, apa itu pekerjaan orang edan. Kurang kerjaan. Apa dia tidak merasa kalau dirinya juga edan, karena telah bekerja melampui batas, sampai burung bertelur disangkarnya harus dituliskan di bukunya.

Untuk ukuran edan atau tidak bedanya sangat tipis. Semua orang punya hak untuk menjadi edan semua. Edan wanita, edan bola, edan sepeda sport, edan tv, edan buku, edan baca, edan film, edan musik atau edan apa lah. Semua manusia bisa dikatakan edan semua.
Sedangkan edanku adalah edan ingin bertemu denganmu karena telah edan menyimpan sejuta cinta yang belum sempat terkabarkan itu saja. Lain tidak. Aku masih bisa bekerja apa saja, menjadi kuli batu, pengais sampah atau bekerja yang lain sesuai dengan skill-ku.
Bisa saja orang bilang surat-suratku ini adalah pelampiasan cinta yang tidak terkabarkan.

Boleh saja Ara. Semua orang punya hak untuk menggombal terhadap orang lain. Di warung kopi, di pasar, terminal, sawah, stasiun kereta api, tempat mangkal becak, mall, toko-toko, orang tak lepas mengabarkan berita-berita yang mereka dengar dan lihat setiap harinya.
Ada yang sama topiknya atau ada yang beda tapi dia harus bicara pada orang-orang yang mereka kenal sebagai arus komunikasi. Tanpa komunikasi manusia akan tercerabut dari takdirnya sebagai makhluk sosial. Karena membutuhkan banyak orang untuk bergumul dan berhubungan dari satu dan yang lain.

Seperti aku Ara yang tidak bisa berkomunikasi denganmu akan menjadi sakit hati, membuat bayang-bayang buatan seperti kamu melalui tulisan-tulisan agar kamu menjadi sosok yang hidup dan bisa berkomunikasi denganku. Itu saja Ara. Jika kita ketemu nanti akan langsung kukabarkan padamu bahwa aku mencintaimu. Bolehkan? Maaf jika terlalu grusa-grusu aku katakan kata itu. Tak ada basa-basi terlebih dulu. Kelamaan aku menunggu detik-detik seperti itu Ara. Menunggu dengan menyimpan dendam amuk raga rindu yang menggelegar.

Surat selesai aku tulis aku lipat aku blusukkan di bawah bantal, terasa lepas semua beban pikiran lalu mulai pejamkan mata. Terlelap sampai pagi.

Esoknya seperti biasa terkenang lagi wajahmu Ara. Padahal mata ini baru saja terbuka dari tidur. Kejam kau Ara. Bahkan kadang-kadang terlalu kuat bayangan itu menancap dalam otak, dada terasa sesak dan perut seakan mual. Apa yang harus aku lakukan untuk menetralisir emosiku, aku kemudian duduk bersila dengan posisi seperti orang mengambil sikap semedi, aku atur nafasku pelan-pelan kemudian secara perlahan menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskan perlahan juga. Pikiranku aku fokuskan disatu titik dengan rileks tanpa ada tekanan sedikitpun.

Pikiranku aku biarkan melayang. Cara seperti itu ternyata lumayan ampuh bisa sedikit demi sedikit dapat menguasai emosiku yang terlalu meledak-ledak itu. Aku putuskan rutin dengan waktu kurang lebih sepuluh menit setiap pagi dan sore. Setelah meditasi selesai aku lakukan baru beranjak pergi untuk sedikit olah raga dan mandi.

Hari-hari begitu aku lalui dengan membosankan, masih saja ada yang merasa kurang dan hambar. Hati tetap saja kering, gusar dan merasa hidup tak ada makna. Hasrat ingin menemuimu disuatu tempat terserah, mau bertemu di gunung, di laut, di gua, di pasar, di stasiun, dimana saja asal bisa bertemu dengan kamu Ara. Meskipun bertemu di alam mimpi disetiap tidur aku juga rela.

Kuambil lagi pulpen dan kertas untuk buat corat-coret sebagai pelampiasan rasa yang belum tersampaikan. Aku juga merasa malu pada diri ini yang tak berdaya menghadapi perasaan yang kalang kabut begini ini. Keparat kau Ara, kenapa aku bisa begini hancur memikirkanmu. Sedangkan kau juga mungkin tak akan tahu jika aku begini hancur, perduli apa. Ya meskipun hancur begini tapi aku masih punya rasa cinta yang hinggap dihati yang terdalam.

Surat III
Kepada kekasihku yang hanya ada di hati

Lelah...menunggumu Ara. Entah berantah aku harus begini. Hancur ditikam rindu yang sesak oleh guratan cinta yang tak jelas adanya. Matilah aku. Nasibku yang harus melalui cinta begini. Aku sangat capek. Menahan rindu menggelegar yang tak juntrut arahnya.
Diriku sudah lebih dari gila. Aku harus bisa keluar mengambil nafas yang longgar agar jiwaku juga longgar, tidak kerdil yang hanya ada kau.

Surat ku yang berikut ini mungkin tak banyak dan panjang hanya akan mengabarkan bahwa aku harus tentukan pilihan. Antara kau dan masa depanku. Maka dari itu aku harus mengalah untuk kesekian kali pada jiwaku. Karena aku tak bisa melumpuhkan hatimu, aku tak sempat mengabarkan rasa simpatiku yang lebih dari cinta itu. Aku harus mengakhiri ilusiku, aku masih punya satu kata “harapan”.

Selamat tinggal ilusiku ini Ara. Semoga kau tak lagi ganggu otakku. Karena rindu itu telah berganti hujan yang telah meluluhkan debu-debu ilusi cinta yang mengajariku tentang makna cinta sejati.

Bangilan, 8 Agustus 2014.

Oleh. Rohmat S
Penulis saat ini tinggal di Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Dapat dihubungi di email: rohmat.sholihin@yahoo.com

SHARE :
Asia Bisnis
 
Copyright © 2014 ASIA BERITA. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Desain by Creating Website | CB Blogger and Vip Desain