PERTEMUAN itu terjadi tanpa sengaja. Lelaki itu adalah satu-satunya orang yang menjadi masa lalu. Reuni sekolah memang mengungkit semua kenangan lama. Tidak hanya masa indah di sekolah bersama teman-teman, namun juga semua tentang dirinya.
Tuhan, tidak ada yang istimewa di antara kami. Saat ini, aku memiliki kekasih. Dan dia juga punya kekasih. Tidak ada kata dariku ataupun darinya. Diam dalam sepi. Berlomba dengan logika. Bertarung melawan rasa yang seharusnya tidak ada. Maka aku kubur perasaan yang hampir tumbuh kembali ini. Gadis ceria ini, bahkan tidak berani menyebut namanya. “Hai..” ku dengar seseorang menyapaku.
Aku mengangkat wajahku. Orang yang sudah aku ketahui sedang berjalan ke arahku. Suara yang sudah sangat dikenal oleh otakku. Renyah, dan dalam. “Haikal..” aku menyebut namanya.
Dan semuanya berlanjut. Cerita-cerita yang tak pernah usai, tawa-tawa yang menghiasi bibir kami. Kenyamanan yang bagai candu menyusup ke dalam diriku. Aku ingin waktu berhenti. Aku ingin selamanya begini.
Sukakah aku padanya lagi? Mengapa ingin dia di sini? Bukankah semuanya sudah berlalu? Bukankah semua ini hanya kenangan?
“Aku akan melanjutkan kuliah ke Jerman.” Kataku sore itu. Empat tahun yang lalu, di bawah pohon yang sama.
“Lalu kita?” tanyanya singkat.
“Kalau masih mampu menunggu, maka akan ada kita lagi.” Aku mengeluarkan kalimat yang sudah aku siapkan berhari-hari.
Lalu sore itu berakhir dalam diam. Sebulan, dua bulan, dan tiga bulan setelah kerangkatanku, kami masih sering berhubungan melalui sosial media dan skype. Lalu dia dipindahkan ke daerah terpencil dengan pekerjaannya sebagai dokter PTT. Komunikasi kami berkurang. Hingga akhirnya menghilang. Dia tidak pernah memunculkan tanda “online” di semua jejaring sosialnya.
***
Ketika asa tak dapat kita bendung. Mencintai adalah jawaban. Tulus. Dan tak bersyarat. Diam dalam kata yang tak terucap. Dan meyakinkan diri bahwa yang saat ini kita miliki adalah yang terbaik. Berjuang menolak keinginan hati. Mencari kesempurnaan dari yang sudah terbina. Tidak mengungkapkan yang sesungguhnya. Karena kita berpegang pada yang seharusnya. Bagaimana mungkin menganggapnya tiada. Padahal ia bersemanyam jauh didasar jiwa.
“Kenapa kembali hadir?” tanyaku.
Hari ini adalah dua minggu setelah reuni itu. Dia menghubungiku kembali. Kami bertemu di café yang dulu sering kami kunjungi. “Aku akan memutuskan Gina,” ucapnya dalam. Menatapku. Meminta persetujuan.
“Lalu akankah ada kita lagi.” Dia melanjutkan, seolah-olah mampu menghapus begitu saja hari-hari yang pernah ada kemarin.
Aku terdiam. Haruskah gadis sebaik Gina menerima ketidakadilan hanya karena keegoisan orang-orang disekitarnya? “Aku tidak bisa melanjutkan dengannya.” Dia terus berbicara.
Akhirnya dia diam. Hari itu lagu sendu. Pengunjung café juga terlihat sepi. Bahkan hanya kami yang bertahan selama ini di sini. “Mengapa memutuskan dia?” aku mulai bicara.
“Kita sudah tidak ada. Aku sudah termiliki. Bagitupun kamu. Dan tidak bisa melanjutkan kita. Semua sudah ditakdirkan.” “Tetapi aku yakin masih ada kita. Kita bisa mengubah takdir ini.”
“Kita sudah memilih melanjutkan bersama orang lain. Dan itu yang terbaik untuk kita.” Aku beranjak pergi. Dia hanya diam.
Dulu, enam bulan setelah keberangkatanku, aku mendengar kabar dia telah memilih gadis itu. Revinda Gina. Gadis melayu yang merupakan salah satu partner PTT nya. Dan kami berakhir tanpa kata.
Setiap hari aku menunggunya. Setiap malam, hingga mataku terlelap. Malam-malam itu terasa begitu panjang. Dia tidak pernah menampakkan diri lagi. Sepi. Hanya itulah yang aku rasa saat itu.
Kerinduanku semakin dalam. Aku menyibukkan diri di perpustakaan dan laboratorium untuk melupakannya. Aku mencoba menghilangkan semua kenangan yang pernah ada diantara kami.
Malam-malamku semakin bisu. Dia tak pernah ada lagi. Perbedaan waktu antara Indonesia dan Jerman membuat hidupku hampir tak beraturan. Padahal, bagiku walaupun dia tidak menyapa, melihatnya online saja aku bahagia. Hanya satu kata tersisa di akhir malam. Aku menyerah. Tidur.
***
Aku dulu menantinya. Penantian yang panjang. Hingga aku bertemu Ferdi, seorang mahasiswa asal Indonesia yang juga melanjutkan studi masternya di Jerman. “Kalila ya,” ucapnya pagi itu.
Kami bertemu di KBRI. Hari itu ada perayaan 17 Agustus di KBRI. “Iya, siapa ya?”
“Aku Ferdi, aku kemarin juga hadir di rapat pembentukan panitia,”
“Oh.. Iya.”
“Aku juga mengambil jurusan Komputer.”
Sejak itu aku sering bertemu Ferdi, meskipun kami kuliah di universitas yang berbeda. Dia berasal dari Sulawesi. Hari-hariku di Jerman dipenuhi oleh perhatian Ferdi. Dia juga mengunjungi tempat tinggalku. Kami sering berdiskusi tentang materi kuliah melalui internet.
***
Bagaimana mungkin bisa memiliki perasaan yang seperti ini lagi? Bagaimana mungkin berharap sesuatu yang tidak mungkin? Selama ini aku bahkan mengabaikan perasaanku. Tidak menuliskan yang aku rasa. Aku bahkan terlalu sering menganggap perasaanku tidak ada. Aku tidak ingin mendustai yang telah terbina.
Aku ingin mengutuk diri. Aku tidak mungkin menduakan atau memutuskan Ferdi hanya karena Haikal kembali.
Aku lelah. Aku benci setiap malam menantinya. Aku benci harus merindui yang tidak seharusnya. Mengingat yang seharusnya tidak aku ingat. Aku benci. Perasaan macam apa ini? Kalau pun dirinya memiliki rasa sepertiku, lalu untuk apa? Tidak mungkin salah satu di antara kami memulai. Dan akal sehatku juga tidak akan pernah setuju dengan ini. Aku menyayangi yang telah ku miliki saat ini.
Haikal mulai menggerogoti pikiranku lagi. Semua tentangnya akan kembali. Sedangkan aku sudah bertunangan dengan Ferdi. Aku mencintai Ferdi. Aku sangat yakin itu.
“Ning,..” Ku dengar suara adik semata wayangku.
“Ada apa Ning,” ucapnya lembut.
“Tidak ada apa-apa,” aku tidak menjawab pertanyaan adikku.
Kami hanya tinggal berdua di rumah ini. Ibu meninggal sejak kami kecil. Sekarang bapakku sudah menikah lagi, dengan Bi Ummi, adik ibuku. Namun Kisya memilih tinggal bersamaku sekembalinya aku dari Jerman.
“Pernikahan Ning 5 minggu lagi loh,” Kisya mengingatkan.
“Iya, Kisya. Aku tau,”
Lalu kami sama-sama diam. Kisya adalah orang yang paling mengenalku. Perbedaan usia dua tahun dibawahku membuat Kisya juga paling tahu hubungan sempurna antara Kalila, kakaknya dengan lelaki bernama Haikal lima tahun yang lalu. Bahkan, dia juga orang paling tahu bagaimana aku sedih ditinggalkan oleh Haikal dulu.
“Aku gak nyangka Mas Haikal akan seperti itu,” ucap Kisya berulang-ulang.
Kata-kata itu yang paling sering diucapkan Kisya di setiap pembicaraan kami yang membahas tentang Haikal. Dan kini Haikal kembali. Kebencian di hati Kisya lebih tebal daripada diriku. Aku sudah memaafkan Haikal. Bahkan saat ini, aku mungkin meragukan pernikahanku dengan Ferdi.
“Seharusnya Kak Ila tidak datang waktu reuni itu. Jadi Kak Ila gak perlu ketemu Mas Haikal lagi,” kata Kisya setelah aku menceritakan pertemuanku dengan Haikal sepulang dari Reuni.
“Seharusnya Kak Ila tidak menerima ajakan Mas Haikal itu,” Larangan senada diucapkan Kisya setelah aku bertemu Haikal di café yang mulai sunyi itu.
Aku hanya diam. Sama seperti saat ini. “Kak Ila jangan mikirin Mas Haikal lagi ya,” Kisya kembali berbicara.
Hari ini kami mengambil undangan yang sudah selesai dicetak. “Ini undangannya akan disebarkan kapan?”
Aku menatap undangan itu dan menghubungi Ferdi. Dia sedang bertugas di luar kota saat ini. Perusahaan tempat Ferdi bekerja menugaskannya mengisi pelatihan untuk beberapa karyawan baru di kota tetangga. “Belum tau, Kisya. Kak Ila tanya Mas Ferdi dulu,”
Aku menelpon Ferdi ketika berada di mobil. “Halo, Assalamualaikum Kalila,” Ferdi selalu memanggilku Kalila. “Waalaikum salam,”
“Mas, undangannya sudah Kalila ambil.”
“Iya, dibagi dua terus ya,”
“Iya, kami akan melihat tempat pemesanan catering hari ini,”
“Oke, dipanjar saja dulu kalau sudah ada yang cocok. Nanti kita bayar kembali ketika Mas sudah balik dari dinas,” suaranya di seberang terdengar begitu ceria.
“Kalila, ga apa-apa kan? Maaf ya, merepotkanmu.”
“Enggak, kok”
“Gedungnya di konfirmasi terus ya, nanti kita lunasi sekalian, kalau ada perlu tambahan uang, nanti Mas transfer lagi”
Kami sudah bersepakat membiayai pernikahan ini sendiri. Aku bekerja sebagai tenaga pengajar di sebuah politeknik selama setahun sudah mempunyai tabungan. Begitu juga Mas Ferdi yang sudah bekerja setamat S1.
Dalam keraguan, aku terus mempersiapkan pernikahanku. Walaupun aku belum mengambil cuti. Aku akan mengambil cuti 10 hari sebelum pernikahan. Hari ini aku baru saja selesai mengajar.
“Kalila,” Ku dengar seseorang memanggilku di parkiran kampus. Haikal. Aku kembali membeku.
“Kita makan siang yuk,”
Aku selalu tidak mampu menolak ajakannya. Hanya untuk makan siang, tidak lebih. Itu yang terpikir olehku. “Jadi nikahnya?”
Aku mengangguk. “Kenapa?”
“Coba dipikir lagi, La,”
“Kenapa?”
“Nanti kamu nyesal,”
“Kenapa?”
“Kamu yakin sudah gak cinta sama aku?”
“Kenapa?”
“Kalila Anshari. Bisakah kita berbicara serius?”
Haikal tidak pernah marah. Tidak pernah bersuara keras di depanku. Dan beberapa minggu ini dia mungkin hampir terbiasa dengan mulutku yang selalu mengeluarkan kata “Kenapa” setiap dia berbicara.
Aku membuka kancing tas sampingku. Mengeluarkan sebuah undangan. Aku berdiri, tanpa peduli makanan yang belum aku sentuh. “Apa-apaan ini La?”
“Jangan lupa datang,” Aku menatap matanya.
“Kamu gak serius kan La?”
Aku meninggalkan café tanpa menjawab pertanyaan Haikal. Aku berjalan cepat ke arah mobilku. Mundur sedikit dan menginjak gas. Beberapa saat kemudian HP ku berbunyi.
Haikal. Aku mengabaikannya.
Handphoneku kembali berbunyi. Hingga aku sadar, ketika spion tengah merekam mobil Haikal yang mengejar mobilku. Aku menancap gas. Alat komunikasi itu terus saja berbunyi, dan mobil Haikal mengejar mobilku.
Pikiranku kalut. Aku tidak tahu harus kemana agar Haikal tidak bisa menemukanku. Tanpa berpikir panjang, aku mengarahkan mobilku ke luar kota. Haikal mengejar. Hingga akhirnya ia berhasil membuatku berhenti.
Aku tidak tahu seberapa jauh aku melaju. Dan perutku berbunyi sekarang. “Kalila keluar,” Haikal mengetuk kaca mobilku.
Aku terdiam di belakang kemudi. Aku tak mungkin terus-terusan lari darinya. Aku harus menghadapinya. “Kamu tidak mungkin lari dari aku kalau kamu yakin ini adalah keputusan yang sudah kamu ambil,” Haikal menusukku dengan kalimat panjangnya.
“Kita masih bisa memperbaikinya. Ini belum terlambat,” suaranya melembut. Aku yakin dia saat ini sedang menatap wajahku yang tertunduk.
Aku membuka pintu dan keluar. Dia mundur dua langkah dari pintu mobilku. “Aku hanya tidak ingin keputusanku berubah,” kataku lemas.
“Tolong biarkan aku lepas dari bayang-bayang masa lalu. Tolong ijinkan aku meneruskan hidup yang baru aku mulai. Tolong ijinkan aku mengukuhkannya,”
Dia hanya terdiam menungguku menyelesaikan kata-kataku. Di sisi jalan antar kota, kami menyelesaikan yang dia sebut “kami”.
“Tolong pikirkan lagi. Aku menunggumu Kalila.”
“Ijinkan aku pulang,”
Aku masuk kembali ke mobilku. Memundurkannya sedikit dan melewati dia yang berdiri di belakang mobilnya. “Baiklah Kalila,” aku mendengar suara terakhirnya tadi. Aku melajukan mobilku dalam dilema. Tanpa ku sadari air mataku jatuh. Aku sadar, aku masih mencintainya. Namun, seseorang yang lebih baik akan segera mendampingiku. Aku dan keluargaku sudah menerima lamaran Ferdi. Dan pernikahan kami tinggal menunggu hari. Aku mencintai Ferdi, aku yakin itu. Haikal hanya serpihan masa lalu yang harus aku buang dari hidupku secepat mungkin.
***
Bilakah melupakanmu adalah sebuah jawaban, maka ku menyerah. Menyerah pada malam-malam panjang penantianku. Berdamai dengan kerinduan pada yang tak seharusnya. Berhenti menciptakan elegi rasa yang tak pernah nyata. Bahkan untuk menyebut namamu saja aku tak berdaya. Lari dari kenyataan yang seharusnya ku ungkapkan. Karena rasa ini adalah nyata.
Ferdi sudah kembali dari dinasnya. Dia memberitahuku bahwa dia sudah menyelesaikan dinasnya. Dia menjemputku untuk membayar sisa catering dan gedung beberapa hari yang lalu. Kami memutuskan untuk tidak lagi bertemu setelah hari itu hingga hari pernikahan di laksanakan.
“Mau dipingit ya, Kalila?”
Aku mengangguk.
“Biar kangennya numpuk,”
Gantian dia yang tertawa.
“Sekarang juga sudah kangen,” katanya lagi.
“Hahaha..” Kami tertawa.
***
Maka tibalah hari yang kami tunggu-tunggu. Jam 6.30 kami sekeluarga tiba di Masjid Agung. Keluarga Ferdi sepertinya sudah menunggu. Akad akan diadakan pukul 07.00 pagi. Aku memasuki masjid dengan wajah tertunduk. Tanpa bisa ku bohongi, aku bahagia. Namun, teleponku yang masih menderingkan nama Haikal hingga tadi pagi masih menyimpan sedikit ragu.
Akad nikah diucapkan dengan lancar oleh Haikal. Aku tersenyum. Sekarang, dia adalah imamku. Orang yang harus ku patuhi perintahnya. Orang yang aku wajib berbakti kepadanya. Dia mencium keningku dan semua yang hadir mengucapkan selamat kepada kami.
“Selamat sayang,” ucap Ayahku.
Kami berfoto bersama.
“Selamat Kak Ila, Kak Ferdi,” hanya Kisya yang menangis.
Dilanjutkan dengan sanak famili dan teman-temanku. Juga teman-teman Ferdi.
“Kalila, selamat. Aku mendoakanmu berbahagia,” Suara itu. Sedih. Sendu. Dan dalam.
Haikal. Dia menatap mataku. Aku membalasnya dengan senyum yang ku paksakan.
“Terima kasih, Amiin”
Dia juga menyalami Ferdi. Aku bingung harus berbuat apa detik itu. Tubuhku kaku. Aku bahkan masih merasakan tangannya erat menggenggam tanganku. Tanganku mulai dingin. Aku menyadari, aku masih mencintai Haikal.
Bilakah memilikimu hanyalah sesuatu yang maya, maka biarlah aku menjadi sesuatu yang semu. Menjadikan diri jiwa yang tak berjasad dan terus hidup dalam angan-angan sepi. Meniti mimpi yang semakin buram dan hilang. Aku telah menjadi perca. Ada bagian diriku yang telah hilang.
Aku telah memilih Ferdi. Itulah yang harus aku yakini saat ini. Merangkai rumah tangga bahagia bersama buah cinta kami. Aku harus melupakan Haikal. Dia adalah masa lalu bagiku. Ferdi adalah malaikat yang Tuhan turunkan untuk menjagaku di dunia ini. Aku menggenggam tangan Ferdi erat. Dia tersenyum kepadaku.
Dirgahayu Indonesia, hari yang akan mengingatkanku pada pertemuan pertamaku dengan Ferdi.
Oleh: Juliana Fisaini
Bandung, 10 Agustus 2014
Penulis dapat dihubungi di alamat lianafisaini@yahoo.com
Melupakanmu
Asia Bisnis |
|
Label:
Motivasi