Pertapaan Pringgondani atau sering disebut Petilasan Eyang Konconagoro adalah sebuah tempat doa bagi masyarakat Jawa. Lokasi itu, terletak pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut di Desa Blumbang, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar.
Selain itu, lokasi tersebut juga berada diantara lebatnya hutan Gunung Lawu dengan pemandangan ke arah barat yang sangat indah. Di sini terdapat dua buah lokasi yang sakral, yakni Sendang Temanten dan Petilasan Moeksa Eyang Konconagoro. Sendang Temanten merupakan tujuh sumber mata air sakral. Di sendang ini para penunjung biasanya melakukan cuci muka sembari mengucapkan salam.
Selain itu, di kawasan pertapaan juga terdapat bangunan joglo yang biasanya digunakan peziarah untuk berdoa. Puncak ritual di kawasan pertapaan ini adalah mandi ditujuh pancuran alami yang airnya memancar dari tebing.
Kawasan tersebut juga ada beberapa warung makan sekaligus tempat penginapan bagi pengunjung yang sengaja datang untuk wisata ritual.
Lokasi Pertapaan Pringgondani dapat dijangkau dengan kendaraan umum jalur Tawangmangu-Sarangan dilanjutkan menyusuri jalan setapak sepanjang tiga kilometer dari Desa Blumbang.
Menurut riwayat yang berkembang, kompleks pertapaan Pringgodani merupakan wilayah kekuasaan Prabu Brawijaya V (Raja Majapahit yang terakhir) pada masa pelariannya dari Kerajaan Majapahit. Daerah tersebut kemudian diserahkan kepada adiknya yang bernama Koconegoro sebagai ungkapan terima kasih atas pengorbanannya terhadap Kerajaan Majapahit. Sejak Majapahit runtuh, Prabu Brawijaya V melarikan diri ke Gunung Lawu sampai meninggal dengan muksa (jiwa dan raganya masuk dalam alam gaib) selama 7 tahun. Setelah itu kadang-kadang Prabu Brawijaya V menampakkan diri di sekitar Sendang Wali sampai Hargo Dumilah.
Menurut masyarakat setempat “Pringgodani” merupakan gabungan dari kata-kata: Pring, Nggon, dan Ndani. Pring (Bahasa Indonesia = bambu) karena pring atau bambu adalah benda yang bisa dibuat apa saja, seperti manusia yang bisa berbuat apa saja,
sedangkan kata nggon adalah bahasa Jawa yang artinya tempat, dan ndani adalah singkatan dari kata Jawa ndandani, yang berarti memperbaiki. Jadi, pringgodani adalah tempat bagi manusia untuk memperbaiki diri. Sedangkan nama Koconegoro atau sering juga disebut Eyang Panembahan Koconegoro hanyalah mitos. Sebab nama tersebut hanyalah sebuah perumpamaan, yakni: eyang artinya yang dituakan(yang tua), panembahan berarti tempat, koco berarti cermin, dan negoro artinya diri kita. Jadi, dapat diartikan sebagai tempat yang dituakan (dikeramatkan) dan bermanfaat untuk bercermin (memperbaiki) diri kita.
sedangkan kata nggon adalah bahasa Jawa yang artinya tempat, dan ndani adalah singkatan dari kata Jawa ndandani, yang berarti memperbaiki. Jadi, pringgodani adalah tempat bagi manusia untuk memperbaiki diri. Sedangkan nama Koconegoro atau sering juga disebut Eyang Panembahan Koconegoro hanyalah mitos. Sebab nama tersebut hanyalah sebuah perumpamaan, yakni: eyang artinya yang dituakan(yang tua), panembahan berarti tempat, koco berarti cermin, dan negoro artinya diri kita. Jadi, dapat diartikan sebagai tempat yang dituakan (dikeramatkan) dan bermanfaat untuk bercermin (memperbaiki) diri kita.
Mengenai pamuksan (menghilang)nya Prabu Brawijaya V ini ada keterangan lain bahwa pada pintu masuk Sanggar Pamelengan tertulis Dwi Jalmo Ngesti Sawiji. Tulisan tersebut dapat diartikan sebagai dua sosok manusia menyembah kepada yang satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Namun sumber lain menjelaskan bahwa kata tersebut merupakan sengkalan angka tahun, yaitu dwi berarti 2 (dua), jalmo artinya 2 (dua), ngesti sama dengan 8 (delapan), dan sawiji artinya 1 (satu).Angka itu kalau dirangkai adalah 2281, dan karena sengkalan angka tahun maka cara membacanya harus dibalik yaitu 1822. Maksudnya pada tahun 1822 M itulah tempat ini dijadikan sebagai tempat moksa Prabu Brawijaya V.
Menurut cerita masyarakat, Pertapaan Pringgodani mempunyai kaitan dengan cerita Prabu Boko. Dahulu ada seorang raja yang bernama Prabu Boko yang mempunyai kebiasaan memakan manusia. Karena kegemaran yang tidak wajar itu, maka penduduk di sekitar Pertapaan Pringgodani (Kalurahan Blumbang dan Pancot) habis dimangsanya. Tinggallah seorang yang bernama Mbok Rondho Dadapan, dengan putrinya yang masih berusia 7 bulan yaitu Harwati. Pada saat itu Prabu Boko juga hendak memangsa Harwati, namun Mbok Rondho Dadapan menolak dan minta waktu tujuh hari. Pada saat itulah seorang pertapa dari Pringgodani turun gunung.
Sang pertapa bersedia menolong mbok Rondho dengan cara menjelma sebagai Harwati dan bersedia menjadi mangsa Prabu Boko. Ketika Prabu Boko datang dan hendak memangsa Harwati tiba-tiba tangan anak tersebut memegang kepala Prabu Boko dan dibantingkan pada batu gilang yang terdapat di Desa Pancot. Kepala Prabu Boko remuk, mata dan otaknya menjadi batu kapur di Gunung Gamping, taringnya menjadi tanaman bawang, gigi geraham menjadi brambang, dan tubuhnya menjadi palawija. Dengan tewasnya Prabu Boko, masyarakat Pancot dan Blumbang merasa aman, maka sang pertapa kembali ke pertapaannya di Pringgodani.
Merasa desanya dilindungi oleh pertapa, maka penduduk Desa pancot dan Blumbang sampai sekarang mengadakan upacara yang diselenggarakan setiap hari lahirnya sang Pertapa yaitu Hari Selasa Kliwon pada (kalender Jawa). Upacara itu diadakan dengan harapan agar masyarakat selalu merasa aman, mendapat rezeki, dan berkah. Masyarakat juga mempercayai bahwa berbagai tempat yang dikeramatkan di lokasi tersebut juga mempunyai makna yang berbeda-beda. Hal ini sangat tergantung pada motif kedatangan dan tujuan para pengunjung, serta aliran kepercayaan yang diyakininya. Ada pengunjung yang motif kedatangan dan tujuannya untuk mencari ketenteraman batin, ada yang mencari ilmu gaib, dan ada juga yang datang untuk berobat.
Di Kalurahan Blumbang terdapat kompleks pertapaan yang berlokasi di atas bukit. Nama pertapaan itu dikenal dengan nama Pertapaan Pringgodani. Kompleks pertapaan yang terletak di kawasan Perhutani ini, selain mempunyai pemandangan yang indah juga dikenal sebagai tempat yang mempunyai daya magis. Di kompleks pertapaan tersebut banyak tempat yang dikeramatkan, yaitu:
(a). Sendang Gedang Selirang, tempat ini merupakan sebuah aliran sungai yang terbendung;
(b). Pertapaan Koconegoro. Pertapaan Koconegoro berada di lereng bukit sebelah utara Sendang gedang Selirang;
(c). Sendang Panguripan. Sendang ini terletak di lereng sebelah barat Pertapaan Koconegoro. Sendang Panguripan mempunyai makna bahwa air dari sendang tersebut sebagai sumber kehidupan;
(d). Sendang Penganten (Pancuran Tujuh). Dinamakan Sendang Penganten karena dahulu di tempat tersebut hanya ada dua pancuran. Namun dalam perkembangannya sekarang ini sudah ada tujuh, sehingga disebut juga Pancuran Tujuh. Fungsi dari Sendang Penganten adalah untuk mandi, bersuci, pengobatan alternatif, dan bermeditasi sekaligus untuk melangsungkan permohonan;
Sendang Gedang |
(e). Sendang Muria. Sendang Muria terletak di sebelah timur Sendang Pengantin. Sendang Muria berupa air terjun dan di bawahnya terdapat kolam penampungan;
(f). Sendang Gentong. Sendang Gentong terletak di sebelah kanan jalur dari Telaga Wali menuju ke Gua Pringgosari. Sendang ini diumpamakan sebagai lumbung, yaitu tempat penyimpanan hasil panen;
(g). Gua Pringgosari. Gua ini terletak di lereng jurang. Di dalam gua terdapat sebuah patung yang bernama Kebo Danu. Menurut kepercayaan kotoran kebo ini mempunyai khasiat, antara lain: untuk menolak bala dengan menaburkan kotoran kebo itu ke tanah di sekitar rumah; dan untuk menyuburkan tanah;
Sendang Temanten |
(h). Sendang Wali. Sendang Wali semula berbentuk telaga. Sumber air berasal dari bukit di sebelah timur yang berupa air terjun. Karena banjir dan bencana alam banyak batu-batu besar yang jatuh terkena arus air, sehingga telaga itu kini tertimbun batu-batu besar tersebut;
(i). Gua Pringgosepi. Pringgosepi bermakna, yaitu tempat untuk menyepi. Untuk acara ritual orang lain tidak boleh masuk, karena guanya sempit dan di depannya terdapat jurang, untuk masuk gua harus menggunakan tali pengaman tubuh.
Dewane dewa bumi Bathara Brama, kayune kayu asem, watake dadi pangauban tumrap wong kangelan. Manuke manuk platuk bawang, sabarang gawene rosa. Gedhonge neng ngarsa minep, gemi mring duweke, yen weweh mrih dialem, rada ngegungake. Mondosiyo Anggara Kasih, tegese dadi pangauban, orang rukun lan sanake, bilahine kasiung.
Bagi orang Jawa yang akrab dengan ilmu kejawen, kalimat bermakna simbolik tersebut pasti tidak asing lagi. Sebab, dalam tradisi kejawen kandungan makna kalimat itu merupakan semacam horoskop, yang menjelaskan watak seseorang dengan wuku Mandasia atau Mondosiyo.
Penjelasan itu dipetik dari buku "Primbon Betaljemur Adammakna", sebuah buku kumpulan ilmu kejawen karya Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Tjakraningrat.
Mondosiyo adalah nama salah satu di urutan ke-14 dari 30 wuku berdasarkan kalender Jawa. Nama-nama wuku yang dikenal masyarakat Jawa, dimulai dari wuku Sinta, kemudian Landep, Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Wariagung, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mondosiyo, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marekeh, Tambir, Medhangkungan, Maktal, Wuye, Manahil, Prangbakat, Bala, Wulu, Wayang, Kulawu, Dhukut, dan terakhir Watugunung.
Wuku-wuku yang dalam kalender berlangsung selama tujuh hari tersebut, dipercaya masyarakat Jawa tradisional berpengaruh terhadap watak seseorang sesuai dengan wukunya. Namun, bagi masyarakat Dusun Pancot, Desa Kalisoro, di kawasan objek wisata Tawangmangu, wuku Mondosiyo memiliki makna sangat khusus. Nama Mondosiyo hingga kini menjadi sebuah tradisi "bersih desa" yang dilakukan masyarakat setempat setiap tujuh bulan sekali. Tradisi tersebut berupa serangkaian upacara ritual di Dusun Pancot, bermula dari legenda tewasnya Prabu Baka di tangan ksatria sakti Putut Tetuko.
Alkisah, sebelum berdirinya Dusun Pancot di kaki Gunung Lawu yang dikeramatkan, bermukimlah seorang pertapa bernama Kiai Jenta. Pertapa inilah yang disebut-sebut sebagai "cikal-bakal" pendiri Dusun Pancot.
Semasa hidup Kiai Jenta, konon kedamaian masyarakat Dusun Pancot terusik oleh ulah seorang raja zalim bernama Prabu Baka. Selain menindas, merampok, dan menganiaya warga yang bermukim di lereng Gunung Lawu, Prabu Baka disebut-sebut memiliki kegemaran "makan daging manusia". Sampai suatu ketika, datanglah ksatria sakti Putut Tetuko dari pertapaan Pringgondani, ke rumah seorang janda Nyai Rondo Dhadhapan. Di rumahnya Desa Dhadhapan, Nyai Rondo terus-menerus menangis karena anaknya semata wayang akan dimangsa Sang Prabu Baka.
Singkat cerita, ksatria Putut Tetuko pun bersedia menggantikan anak Nyai Rondo Dhadhapan untuk menjadi santapan Prabu Baka. Namun, berkat kesaktian Putut Tetuko akhirnya ksatria Pringgondani itu berhasil menghabisi Prabu Baka dengan memancot atau memisahkan kepala dari tubuh tanpa senjata. Prabu Baka tewas setelah kepalanya dihempaskan di batu gilang yang kini menjadi lokasi upacara tradisi Mondosiyo.
Peristiwa pembebasan masyarakat Dusun Pancot dari cengkeraman Prabu Baka hari Selasa Kliwon dan bertepatan dengan wuku Mondosiyo itu, kemudian dianggap sebagai tonggak sejarah dan diperingati dengan "bersih desa". Awal-mula nama Dusun Pancot sendiri, konon berasal dari Kiai Jenta untuk mengingatkan anak-cucunya turun-temurun tentang peristiwa tatkala Putut Tetuko memancot Prabu Baka.
Tradisi Mondosiyo dengan kisah Prabu Baka dan Putut Tetuko yang melegenda, memang tidak ada hubungan dengan agama apa pun. Namun, bagi warga Dusun Pancot, tradisi itu mengandung makna pembebasan yang sangat penting. Melalui tradisi "bersih desa" setiap tujuh bulan sekali, keguyuban sosial mau pun kelestarian lingkungan desa mereka sampai kini tetap terpelihara. Orang-orang desa yang sederhana itu, secara sadar sangat menghormati fatwa Kiai Jenta sebagai "cikal-bakal" Dusun Pancot. Sebuah penghormatan yang menjadikan harmoni tata kehidupan desa seperti tak terusik berbagai polusi masyarakat modern.
Tata Upacara ini dimulai pada hari Minggu Pon. Dua hari sebelum puncak Upacara Mondosiyo berlangsung, msyarakat setempat mengumpulkan beras untuk diolah atau dimasak secara tradisional ,menjadi makanan yang disebut "gandhik", serta aneka makanan khusus lainnya sebagai perlengkapan "sesaji tradisional". Di samping itu, secara gotong royong masyarakat setempat membeli seekor kambing dan sejumlah ayam kampung sebagai "sesaji pokok".
Hari berikutnya Senin Wage, keseluruhan perlengkapan "sesaji tradisi" dan berbagai "busana tradisi" ditempatkan atau disanggarkan di rumah sesepuh adat. Pada pukul 7 malam (malam Selasa Kliwon), beberapa orang perangkat adat menabuh "bende" mengelilingi tempat-tempat yang dianggap keramat, sebagai pemberitahuan akan diselenggarakan upacara adat Mondosiyo, dengan harapan agar para danyang hadir serta merestui perhelatan tersebut. Selanjutnya menjelang tengah malam diadakan tirakatan dan renungan sesuai adat setempat.
Hari H, Selasa Kliwon adalah Puncak Upacara Adat Mondosiyo. Pukul 07.00 pagi para sesepuh adat dan tokoh masyarakat membawa seekor kambing kendit dan ayam ke punden Bakpatokan untuk disembelih sebagai sesaji. Pukul 10.00 semua bahan sesaji sudah disiapkan di punden Bakpatokan. Pukul 13.00 diperdengarkan "gendhing Manyar Sewu". Pukul 16.00 Upacara Mondosiyo dilangsungkan dengan dipimpin oleh sesepuh adat.
Pada puncak acara ini diperebutkan ayam hidup, serta penyiraman "air badheg" bagi masyarakat atau pengunjung. Bagi yang dapat atau bisa menangkap ayam akan mendapat keberuntungan.